Read Time:2 Minute, 6 Second
Dok/KKN Reguler Kelompok 12 UIN Raden Fatah

Banyuasin – Ukhuwahnews | Dusun Limau, Kecamatan Sembawa, Banyuasin, yang terletak di tepian sungai memiliki pemandangan alam yang asri, desa ini dikenal juga sebagai kampung para pengrajin atap nipah. Sejak zaman nenek moyang, masyarakat di desa ini menggantungkan hidup dari pembuatan atap berbahan daun nipah. Hingga kini, meskipun zaman terus berkembang, tradisi ini masih terus bertahan, menjadi mata pencaharian utama sebagian besar warga.

Nurbaya, salah satu pengrajin atap nipah di Dusun Limau, telah menekuni pekerjaan ini sejak kecil.

“Dari zaman kakek nenek saya masih ada, kami sudah membuat atap nipah. Mata pencaharian kampung ini memang rata-rata pengrajin atap nipah. Turun-temurun, tergantung generasi penerusnya,” ujarnya, Selasa (11/02/2025).

Baca Juga: Kemeriahan Festival Sungai Musi 2025: Ribuan Warga Padati Acara

Menurut wanita paruh baya itu, proses pembuatan atap nipah cukup sederhana, tetapi membutuhkan keterampilan khusus. Bahan utama berupa daun nipah diperoleh dari sungai, sedangkan bambu kecil untuk tulang atap harus dibeli dari warga yang memiliki kebun.

“Keunggulan dari atap nipah ini adalah daya tahannya. Bisa sampai puluhan tahun kalau daunnya bagus, jauh lebih awet dibandingkan daun kelapa sawit atau kelapa biasa,” tambahnya.

Namun, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi para pengrajin, terutama dalam hal ketersediaan bahan baku.

“Kadang stok daunnya kurang, jadi produksi terhambat,” keluh Nurbaya.

Selain itu, meskipun permintaan dari luar daerah seperti Prabumulih dan Betung cukup tinggi, akses pemasaran masih terbatas karena penjualan atap nipah belum bisa dilakukan secara online.

Sonaah, pengrajin lainnya, menceritakan bahwa pekerjaan ini telah ditekuni sejak ia masih kecil.

“Di sini sistemnya upahan. Bisa sehari dapat Rp25.000, kalau tiga hari baru terkumpul Rp100.000. Jadi cukup untuk makan sehari-hari,” tuturnya.

Baca Juga: Atraksi Spektakuler Warnai Festival Sungai Musi 2025

Dalam prosesnya, para pengrajin menerima bahan dari pemilik usaha, kemudian mereka bertugas menganyam daun nipah dengan tangan tanpa bantuan mesin.

“Daun nipah ini memang istimewa. Seperti kelapa, semua bagian dari daun hingga pohonnya bisa dimanfaatkan,” jelas Sonaah.

Meskipun hasilnya tidak sebesar pekerjaan lain di sektor industri, para pengrajin tetap bertahan karena keterampilan ini telah diwariskan dari generasi ke generasi.

Harapan mereka adalah adanya perhatian lebih dari pemerintah atau pihak terkait untuk membantu pemasaran dan pengembangan usaha, sehingga tradisi ini dapat tetap lestari di tengah kemajuan zaman.

Desa Limau dengan warisan pengrajin atap nipahnya membuktikan bahwa nilai tradisional masih bisa bertahan, bahkan di era modern. Dengan potensi yang ada, diharapkan industri kecil ini bisa semakin berkembang dan dikenal lebih luas.

Penulis : Natasya Choirunnisa (Kontributor)
Editor: Rhessya Maris

About Post Author

Hanifah Asy Syafiah

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post Resensi: Pet Sematary, Misteri Makam Hewan Peliharaan
Next post Tim Jejak Limau KKN UIN RF Sukses Gelar Gebyar Isra Mi’raj di Desa Limau