Read Time:12 Minute, 23 Second

Oleh: Annisaa Syafriani

“Udah Helena. Nggak perlu, aku aja yang bawa kuenya. Kita harus cepet sebelum Dewi dijemput sopirnya,” ujar gadis sepuluh tahun, tubuhnya terbalut dress selutut berwarna coklat.

Tangan gadis itu merebut kotak berisi kue ulang tahun dari tangan seorang gadis dengan rambut dicepol manis sebayanya.

“Aku mau bantu, Nala. Aku bisa kok, yakin deh nggak akan terjadi hal-hal yang mengecewakan. Kalian tau kan aku ini titisan Tinkerbell? Aku bisa kok nolong hal kecil kayak gini,” ucap gadis yang dipanggil Helena itu yakin. Ia mengakhiri dengan tawa yang terdengar seperti orang batuk lalu dibalas tatapan mengernyit dari teman-temannya.

Gadis yang kini duduk di kelas empat Sekolah Dasar (SD) itu kembali merebut kotak kue ulang tahun berwarna merah. Ia menatap ketiga teman bimbelnya dengan mantap disertai senyum manis. Keempat temannya menatap ragu Helena yang kini tengah membuka kotak kue dan menancapkan lilin dengan angka 10. Tangan Helena merogoh tasnya dan mengeluarkan pemantik yang tadi mereka beli, lalu menyambarkan apinya ke sumbu lilin.

“Ayo! Nanti Dewi keburu pulang,” ajak Helena.

Nala mencibir Helena lalu menghembuskan nafas gusar saat Helena melangkah riang menuju parkiran khusus yang disediakan di tempat bimbel mereka. Tasya dan Mona yang sedari tadi hanya diam, tersenyum canggung sembari mengajak Nala untuk mengikuti langkah.

Beberapa langkah lagi mereka akan sampai tepat di belakang Dewi, gadis berambut panjang dengan bandana berwarna silver itu tampak manis ditambah dress bermotif bunga sakura yang dikenakannya. Rencananya mereka akan mengagetkan Dewi, setelah seharian ini mereka mendiamkan Dewi.

Tiba-tiba saja kaki Helena yang terbalut flat shose berwarna hijau itu tak sengaja tersandung kakinya sendiri, dan Helena pun terjatuh. Dengan posisi semengerikan itu tak dapat terelakan, kue yang Helena pegang terjatuh tak berdaya di lantai semen.

“Aduh!” Helena meringis memegang lututnya yang mulai terasa perih. Ia berusaha menegakkan badannya.

“Helena, Kuenya!” teriak Mona. Mata ketiga teman Helena terbelalak tak percaya menatap kue ulang tahun yang sudah tak berbentuk lagi.

Teriakan Mona terdengar oleh beberapa orang di sana, bahkan terdengar jelas oleh Dewi yang kemudian langsung membalikkan badannya. Dewi terkejut saat melihat Helena tersungkur dan ketiga temannya yang lain mengerubungi kue yang tak berbentuk di dekatnya. Ia mendekati Helena dan membantu Helena untuk duduk di kursi tak jauh dari mereka.

“Sakit ndak, Len?” tanya Dewi spontan dengan logat jawanya yang cukup kental saat mereka telah duduk di kursi yang tak jauh dari tempat Helena jatuh.

Dewi adalah temen Helena yang baru pindah dari Yogyakarta beberapa bulan lalu, tak heran masih ada logat jawa yang sangat kental. Helena tak menjawab, ia menggigit bibir bawahnya sembari menahan tangis. Beberapa orang di sekitar mereka mulai melanjutkan kegiatannya.

“Gara-gara Helena semua jadi gagal! Aku kan udah bilang biar aku aja yang bawa kuenya. Tapi Helena dengan obsesi menjadi Tinkerbell malah kacauin semuanya!” teriak Nala. Ia menatap berang ke arah Helena. Mona mengusap pelan penggung Nala, menenangkan. Sedangkan Tasya baru kembali setelah membuang kue yang tak layak lagi itu.

“Wes, sing penting Helena ora popo, cuma lututnya sing berdarah,” lerai Dewi. Helena tertunduk merasa bersalah, matanya berkaca-kaca. Oh no! itu lebih terlihat seperti menahan buang air besar.

“Tapi, Wi. Dia ngacauin surprise ultah kamu!” cecar Nala. Ia menatap Helena kecewa.

Dewi tersenyum mendengar ucapan Nala. “Ora popo, suwun udah mau supres. Nggak usah dipikirin lagi tentang supresnya. Nanti kita makan dulu yuk! Aku yang traktir,” ajak Dewi. Gadis dengan logat jawa itu tersenyum.

“Iya, udah nggak apa-apa. Dewi aja masalah nggak, yang penting niat kita udah baik.” Tasya berpendapat yang ditatap heran dengan keempat temannya lalu mereka menyadari keanehan ucapan Tasya. Tasya kesulitan menyusun kata.

“Yaudah yuk! Tuh Pak Reno udah nyampe,” ajak Dewi.
Helena tak bergeming, masih menundukan kepalanya. Ia merasa kecewa pada dirinya sendiri.

“Aku nggak ikut ya, Wi. Bentar lagi aku dijemput Mama. Kalian aja. Maaf yah Nala, Tasya, Mona, semuanya jadi gagal, dan selamat ulang tahun Dewi,” ujar Helena memberanikan diri menatap teman-temannya.

Dewi menghela napasnya lalu tersenyum. “Ya udah kami duluanyah Helena.” Helena mengangguk mengiakan.

Lalu keempatnya pergi meninggalkan Helena yang sebelumnya sempat melempar senyum. Helena melambaikan tangan pada mobil yang dinaiki keempat temannya sebelum mobil hitam itu menghilang di keramaian jalan.

Fokus Helena kembali pada luka di lututnya. Nyeri masih terasa dengan bercak darah yang terlihat. Ia gagal, gagal menjadi Tinkerbell. Peri pengerajin dari pixy Hollow yang bersifat ceria serta suka menolong itu sudah mengobsesi Helena sejak pertama kali ia menonton film produksi Disney itu.

Gadis dengan rambut dicepol sederhana itu meringis ketika berusaha berdiri. Bukannya berdiri Helena justru kembali terduduk dan menangis tanpa suara, ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, masih terasa sakit di lututnya.

Baca juga: Cerpen: Hati yang Tak Tergapai

Tiba-tiba, tepukan di bahu kiri mengagetkan Helena, ia mendongakkan kepalanya sembari mencari seseorang yang menepuknya tadi. Seorang anak laki-laki sebaya Helena dengan tubuh pendek sekitar di bawah dagu Helena yang berpakaian kumuh sedang berdiri di depannya.

Anak laki-laki itu tersenyum sungkan yang dibalas Helena dengan kening berkerut, ia masih meringis sembari memegang lututnya. Helena bingung, dia sedikit tersentuh ada yang mendatanginya.

“Ka-kamu nahan buang air besar?” tanya laki-laki itu, ia menatap penasaran Helena.

“Aku Wood- eh maksudku, nama aku Satria.”

Helena mengerjapkan matanya lalu mendengus. “Lutut aku berdarah! Dan aku nggak bisa kasih tau nama aku. Kata Ayah jangan bicara sama orang asing, tapi aku udah terlanjur ngomong jadi aku nggak akan kasih tau nama aku aja.”

“Eh? Gituyah, mukamu lebih seperti nahan kentut.” Anak laki-laki yang menyebut namanya Satria itu terkekeh bermaksud menghibur, lalu terdiam saat mata Helena menatapnya tajam.

“Eh nggak, kok! Aku … aku tadi lihat kamu jatuh, terus kamu ditinggalin temen-temenmu. Aku ka … sihan,” ungkapnya.

“Aku gagal jadi Tinkerbell, aku ngerusak rencana buat surprise-in ulang tahunnya Dewi,” lirih Helena. Kepalanya menunduk menatapi lututnya yang berdarah.

Berbeda dengan Helena, Satria justru menatap Helena berbinar. “Aku bisa bantu kamu! Woody itu penolong bagi temen-temennya, dan aku mau jadi Woody!” ujar Satria menggebuh-gebu saat membicarakan tokoh kartun Disney bernama Woody.

Helena menatap Satria terkejut, lalu tersenyum saat Satria menawarkan bantuan. Gadis itu merasa satu spesies saat tau bahwa Satria menggagumi karakter fiksi sama seperti dirinya.

“Kamu mau bantu aku?” tanya Helena penuh harap.

“Iya! Eh tapi aku nggak bisa. Aku harus cari uang untuk beli penghapus biar buku gambar aku nggak kotor. Bude lagi nggak punya uang.” Satria membuang wajahnya menghindari dari tatapan menyelidik Helena.

“Mama bilang kalo penghapus yang warnanya hitam sama putih itu lebih bagus,” jelas Helena, “tapi kan bagusan yang warna-warni kayak matahari.”

“Hah? Matahari kan warna kuning terang. Bukan warna-warni,” jawab Satria polos.

“Iya? Oh berarti warna warni kayak bintang Kejora!”

“Emangnya bintang Kejora warna-warni?”

“Iya lah. Kamu pasti nggak pernah lihat bintang Kejora kan? Percaya deh bintang kejora itu warna-warni.” Satria mengangguk paham saat mendengar penjelas Helena tentang bintang Kejora.

Jujur saja, Satria memang belum pernah melihat bintang Kejora. Tapi setaunya bintang pun tidak berwarna-warni. Ah … sudahlah, mungkin Helena benar. Bintang Kejora itu berwarna-warni.

“Aku ada penghapus!” Helena membuka tasnya lalu mengeluarkan tiga macam penghapus berbeda.

Warna putih, hitam, dan penghapus yang paling berbeda dari lainnya yang berwarna pink dengan bentuk kepala beruang. Gadis itu memberikan penghapus hitam untuk Satria.

“Untuk aku? Wah terima kasih … Tinkerbell?” ujar Satria sumringah. Lalu tangannya menggenggam penghapus hitam itu sebelum akhirnya ia simpan di saku celana pendeknya.

“Aku janji bakal bantu kamu.”

Helena tersenyum. Ia melirik jam tangannya, pukul 14.00 WIB. “Kita harus cari sesuatu yang bisa kita tolong, ayo! Menuju tak terbatas dan melampauinya!” ajak Helena. Satria mengernyit.

“Itu ucapan Buzz Lightyear, bukan Serif Woody,” ucap Satria heran.

“Aku kan nggak tau, ayo kita ke kompleks perumahan aku!” Ia bergegas membereskan barangnya dan berlari pelan bersama Satria ke arah kompleks perumahan tempat tinggal Helena yang tak jauh dari tempat Helena bimbel. Seakan melupakan rasa sakit di lututnya.

Mereka sampai di ujung komplek perumahan, setelah berkeliling dari tadi. Mereka menatap deretan rumah di komplek yang hanya terdiri dari enam rumah yang saling berhadapan dipisah oleh jalan, dengan tiga di bagian kiri dan sebaliknya. Rumah yang berada di tengah bagian kiri adalah rumah Helena tampak minimalis dan juga asri. Di ujung kompleks itu ada taman kecil.

Satria yang sedari tadi mengikuti Helena menatap kagum kompleks perumahan, berbeda jauh dengan rumah budenya yang terletak di gang yang padat penduduk di pinggiran kota. Satria adalah anak yatim piatu yang kini tinggal bersama budenya dan kedua sepupunya. Dia semakin terkejut saat Helena mengungkapkan di sini tempat tinggalnya. Betapa beruntungnya gadis itu.

“Kompleks perumahannya sepi. Nggak ada yang bisa dibantu.” Satria tetap fokus menatap rumah-rumah itu. Kini mereka berdiri di depan taman.

“Kita nggak boleh patah semangat, dong!” ujar Helena menyemangati. “Itu dia! Ada tas hitam. Mungkin saja itu milik orang yang terjatuh, hilang, atau justru dicuri!”

Setelah mengatakan itu Helena berlari ke arah tas hitam yang tergeletak di ujung taman kecil kompleks yang sedang sepi, karena masih jam kerja. Ia meninggalkan Satria yang kewalahan mengikuti Helena. Keduanya mengambil tas yang telah robek di beberapa bagian.

“Hemm … kamu yakin ini milik orang? Aku nggak yakin deh …,” ucap Satria ragu. Matanya melirik tong sampah berwarna hijau tak jauh dari keduanya.

“Aku yakin! Ayo kita buka siapa tau kita bisa ngembaliin tas ini ke orangnya.” Helena pun membuka tas itu dengan semangat.

Tas itu hanya berisi kertas-kertas penuh tulisan yang tak dimengerti keduanya karena menggunakan bahasa asing dan juga beberapa lembar koran lusuh. Satria mencoba membaca salah satu kertas, tapi ia tetap tidak mengerti. Tak berapa saat matanya menangkap sebaris coretan pena berwarna merah di pojok kertas yang tertuliskan ‘Herlangga Rahman Putra’.

“Dapat!” seru Satria. Helena langsung memeriksa kertas yang dipegang Satria.

“Herlangga Rahman Putra? Aku nggak kenal,” gumam Helena.

Ia mencoba mengingat kembali nama-nama orang dikompleksnya. Tapi tidak ada hasil, percuma ia memang jarang bermain di sekitar kompleks karena tidak ada yang sebayanya.

“Nggak tau? Yah ….” Satria mendengus.

“Ayo coba kita cari dulu!” ajak Helena memaksa.

Saat mereka ingin membalikkan badan seekor anjing hitam bertubuh besar sedang menatap keduanya sangar.

“O … ow!” gumam Helena, ia menatap ngeri ke arah anjing yang berdiri sekitar lima meter di depan keduanya. Satria meneguk ludahnya, tak menyangka akan mendapatkan kejutan.

“Katanya kalo ada anjing kita harus jongkok biar nggak dikejer,” bisik Helena.

“Tapi aku nggak percaya, karena aku pernah nyoba malah dia tetep ngejer aku. Oke kita lari aja. Hitungan ketiga kita lari yah!” ajakan itu dianggukin oleh Satria.

“Sa … tu, … lari!” Helena berlari menenteng tas hitam itu sembari meninggalkan Satria yang terbengong lalu sesaat kemudian menyusul Helena. Keduanya berlari cepat ke arah belakang taman kompleks. Tapi sayang anjing itu justru berbalik tak mengejar keduanya. Sia-sia sudah.

Mereka bersembunyi di balik pohon, ah bukan … tapi tanaman Lidah Mertua yang tumbuh subur di dalam pot-pot besar. Oke, itu tidak membantu sama sekali. Keduanya tampak mengatur napas yang masih tersengal-sengal.

“Kenapa kamu tinggalin aku?!” tanya Satria bingung saat sudah bisa mengatur napas. Wajahnya tampak cemberut.

“Maaf Satria. Aku terlalu takut untuk ngitung sampe tiga, jadi sampe satu aja. Takut anjingnya nggak paham berhitung justru dia ngejer kita di angka dua. He he he …,” papar Helena dengan derai tawa di akhirnya. Tangannya membentuk lambang perdamaian. Yang dibalas dengusan oleh Satria.

“Tapi kayaknya anjing itu nggak ngejer kita deh,” ucap Satria. Matanya mengarah ke luar taman.

“Huh dasar anjing cemen! Masa nggak berani ngejer, aku tebar debu Pixy tau rasa! Biar terbang sekalian nggak balik lagi!” Helena bersungut sungut.

“Sudahlah ayo kita ke depan lagi, cari yang punya tas ini.” Satria berjalan ke arah depan taman dan diikuti oleh Helena yang masih menenteng tas hitam itu.

Setelah sejam mereka berkeliling kompleks yang kecil itu, bahkan terlalu kecil untuk dikatakan kompleks karena sebagian perumahan ada berada di depan dekat jalan utama.

Mereka juga belum mendapatkan alamat si pemilik tas. Helena juga kembali mencoba mengingat nama-nama tetangganya tapi dia tak dapat mengingatnya karena dulu ia rasa itu tak penting untuk diingat.

Keduanya kembali di titik awal tempat di temukannya tas itu. Mereka duduk di trotoar pinggir taman. Hanya ada beberapa pedagang yang masuk sesekali seperti penjual nasi goreng dan sebagainya.
Berlulang kali Helena mengeja ulang nama yang tertera pada kertas.

Tiba-tiba suara Helena menggagetkan Satria yang sedang meluruskan kakinya yang kecapaian.

“Aku inget!” teriak Helena.

“Apa?”

“Kemarin ayah manggil salah satu tetangga dengan sebutan ‘Pak Rahman’ tapi aku nggak tau bener apa nggak. Dan juga aku nggak tau rumahnya Pak Rahman.” Helena hampir patah semangat. Hal itu tertular dengan Satria.

Mereka duduk di trotoar tak jauh tempat mereka menemukan tas hitam yang masih Helena pegang.
Beberapa saat kemudian keduanya terkejut mendengar klakson mobil. Helena menyadari itu adalah mobil sang Ayah.

Helena berdiri diikuti Satria.
Kaca mobil depan di turunkan menampilkan pria paru bayah yang berlesung pipi di sebelah kanannya.

Ayah Helena itu menatap anaknya bingung. Lalu melempas senyum kecil ke arah anak laki-laki yang ia duga adalah teman sang Anak.

“Helena lagi main? Sama siapa?” tanya Ayah Helena.

“Ini temen baru Helena, Yah. Namanya Satria dia suka Woody loh,” ungkap Helena riang. Dibalas senyum ayahnya.

Dari percakapan itu Satria akhirnya tau nama teman barunya itu. Helena.

“Kenapa duduk di sini? kenapa nggak di rumah aja?” tanya Ayahnya lagi.

“Kami lagi bantu ngembaliin tas orang yang jatuh, Yah. Tapi nggak tau siapa. Oh iya, Ayah tau rumah Pak Rah-” ucapan Helena terputus saat seorang pria dewasa keluar dari rumah di sebelah taman tempat mereka berada, pria itu menegur ayahnya.

“Loh? Pak Hardi baru pulang, yah? Kenapa ngobrol sama Helena di luar? Eh, ada temennya Helena juga yah?”

Pertanyaan rentet dari pria berbaju rumahan dengan perut sedikit buncit itu menyita fokus keduanya.

Ayah Helena yang disapa Pak Hardi turun dari mobil dan menjawab ramah tetangganya itu setelah berjabat tangan.

“Ini anak-anak lagi main. Katanya mereka nemu tas tapi nggak tau siapa yang punya,” papar Hardi.

“Yang punya Pak Rahman, Yah!” Interupsi Helena.

Dianggukin oleh Satria yang sedari tadi diam.

Rahman dan Hardi menatap Helena. Lalu tawa keduanya pecah. Satria dan Helena menatap bingung kedua pria dewasa di depan mereka itu.

“Yang di depan kamu ini adalah Pak Rahmannya, Helena.” Hardi terkekeh kecil.

“Eh? Wah kalo gitu ….” Helena memberikan tas hitam itu pada Pak Rahman yang memasang wajah bingung. “Ini tas Pak Rahman yang hilang.”

Tak urung Pak Rahman menerimanya, barulah guratan di dahinya menghilang diganti dengan tawa lepas saat melihat tas itu. Helena, Satria dan juga Hardi bingung.

“Helena … haduh!” Rahman berusaha menghentikan tawanya, tangan kirinnya memegang perut buncitnya seakan menahan agar tak lepas pada tubuhnya.

“Itu tas memang mau saya buang karena memang sudah tak layak dan ada beberapa yang robek, isinya juga kertas yang sudah nggak guna lagi. Kebanyakan tugas-tugas anak saya SMP dulu, sekarang malah udah kuliah. Mungkin ada yang jahil, padahal saya udah letak di dalam tong sampah,” jelas Rahman setelah tawanya meredah.

Mendengar penjelasan itu Satria menggaruk kepalanya sedangkan Helena menyengir dengan wajah yang memerah menahan malu. Hardi tertawa mendengar penjelasan tetangganya itu. Terjawab sudah teka-teki tas hitam itu.

About Post Author

Putri Ayu Lestari

Mahasiswa Program Studi Jurnalistik tahun 2021 UIN Raden Fatah Palembang
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post Puisi: Lukisan Abu-abu
Next post Teknologi Translator Headset Bluetooth: Membantu Jemaah Haji