Oleh: Annisaa Syafriani
Nafasku tersengal-sengal. Sesekali aku mengintip ke arah para polisi yang mengejarku dari balik tembok. Sial! Komplotanku tertangkap basah saat menyeludupkan anak-anak untuk transaksi jual beli organ tubuh manusia.
Saat aku merasa sudah aman dari kejaran para polisi itu, aku mulai melangkahkan kaki ke arah gang kecil yang merupakan jalan pintas menuju pasar tradisional.
“Hei jangan kabur!” teriakan itu menarik pandanganku, benar saja salah seorang polisi yang mengejarku tadi berlari cepat ke arahku.
Aku berlari ke pasar, berharap keramaian dapat menyamarkan kehadiranku. Sesekaliku lihat polisi tadi masih mengejarku. Seragam polisi yang dipakainya menjadi pusat perhatian orang-orang pada kami. Bahkan beberapa orang berteriak saat melihat polisi itu mengeluarkan pistolnya.
Dari arah berlawanan, seorang polisi berlari ke arahku. Aku mengedarkan pandangan dan berlari ke arah belakang pasar yang hanya menyisahkan beberapa orang karena hari sudah hampir sore.
Baca juga: Cerpen: Ujian Akhir Semester
Dua orang polisi itu masih saja mengejarku, aku berlari kencang sembari meraba saku bagian dalam jaket kulit yang kugunakan. Ada pistol milikku dan segepok uang untuk biaya berobat ibuku. Tangan kananku bersiap memegang pistol itu. Bagaimana pun juga aku harus terbebas dari kejaran polisi ini.
Aku berlari memancing polisi-polisi itu ke arah daerah yang tak jauh dari sini dan tak terlalu ramai yakni dekat di jebatan penghubung desa. Mungkin baku tembak tak aka terelakan lagi nanti.
Seperti rencanaku mereka turut mengejarku ke arah jembatan. Aku menembakkan pistolku ke arah para polisi itu, dan untungnya mengenai tangan salah seorang polisi itu. Tapi nahas, tak lama kemudian dua mobil polisi datang. Beberapa anggota polisi yang kira kira berjumlah delapan orang dengan cepat langsung menodongkan senjata apinya ke arahku. Aku melepaskan tembakan ke arah salah satu polisi, tetapi sialnya aku kehabisan peluru.
“Lepaskan senjata dan angkat tanganmu! Atau jangan salahkan jika ada peluru yang menembakmu,” gertak seorang polisi yang berpakaian serba hitam dan menggunakan jaket kulit. Tapi aku menghiraukan gertakan itu, aku justru berbalik badan dan berlari menjauh dari mereka.
DOR!
Lariku terhenti dan aku terjatuh bersamaan saat timah panas yang mengenai punggung bagian belakangku. Aku tersenyum miris, teringat ucapan ibu yang menyuruhku untuk berhenti dari pekerjaan sebagai penyeludup anak kecil dari hasil penculikkan. Tanganku menggenggam jaket kulit tepat di mana segepok uang untuk pengebotan ibu yang aku simpan. Dan perlahan kegelapan menguasaiku.

About Post Author
Putri Ayu Lestari
More Stories
Bungsu yang Mahir Sembunyi
[caption id="attachment_3095" align="aligncenter" width="1280"] UkhuwahFoto/Rani Dwi Oktafidiya[/caption] Penulis: Rani Dwi Oktafidiya (Sekretaris Umum) Untukmu, sekecil penuh tawa Kata orang si...
Takbir Rindu di Negeri Orang
[caption id="attachment_3099" align="aligncenter" width="736"] Sumber/Pinterest[/caption] Penulis: Sri Wahyuni Takbir menggema di langit indah. Membawa rindu yang kian mendalam. Di tanah...
Cerpen: Stand For Yourself
[gallery columns="1" size="full" ids="1165"] Penulis: Imelda Melanie Agustin (Pengurus LPM Ukhuwah) Di tengah malam, seorang gadis malang terlihat sedang meringkuk...
Cerpen: Misteri Tas Hitam
[gallery columns="1" size="full" ids="872"] Oleh: Annisaa Syafriani "Udah Helena. Nggak perlu, aku aja yang bawa kuenya. Kita harus cepet sebelum...
Puisi: Lukisan Abu-abu
[gallery columns="1" size="full" ids="869"] Oleh: Vitria Isabella Di atas kanvas biru langit menganga luas, Malam temaram, dingin merangkul erat. Di...
Puisi: Saat Kelabunya Datang
[gallery columns="1" size="full" ids="854"] Oleh: Annisaa Syafriani Saat denting itu bernada, Kelabunya kan bertandang. Menyergap raga, Mengetuk segala tenang yang...
Average Rating