Warung Apung Mang Ujuk dan Panorama Jembatan Ampera

Mang Ujuk (62), pemilik Warung apung di sekitar objek wisata Benteng Kuto Besak. Senin, (25/10/21). Ukhuwahfoto/M. Firdaus


Penulis: M. Firdaus (Pengurus LPM Ukhuwah UIN Raden Fatah Palembang)

Berbicara Palembang, kota tertua di Indonesia ini memiliki segudang makanan khas dan tempat wisata yang memanjakan pendatang dari luar Sumatera Selatan. Kali ini saya berhasil mengunjungi warung makan yang mengapung di atas Sungai Musi.  

Namanya “Warung terapung Mang Ujuk”, bertempat di kawasan wisata Benteng Kuto Besak (BKB), Warung Mang Ujuk selalu dibanjiri pelanggan untuk menyantap berbagai makanan khas kota Pempek.

Sembari berwisata ke tepian Sungai Musi, pengunjung bisa menikmati makanan khas Palembang di bagian tangga dua wisata BKB, tepatnya di sebelah monumen Ikan Belida.

Sosok Mang Ujuk (62) sendiri merupakan pria paru bayah yang berasal dari Kecamatan Pamulutan, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Menurut pengakuannya ia mulai berjualan menggunakan ketek pada tahun 2004. Oleh warga Palembang ketek merupakan sebutan untuk perahu atap berukuran besar.

“Aku bejualan cak ini dari tahun 2004, sebelomnyo cuma jadi soper speedboat (Saya berjualan sejak tahun 2004, sebelumnya cuma supir speedboat),” ujarnya sembari mengubah arah kemudi ketek. Senin, (25/10/21) malam.

Jembatan penyebrangan menuju Warung apung Mang Ujuk. Setiap harinya, Warung ini dibuka mulai pukul 15.00 sampai 21.00 WIB. Senin, (25/10/21). Ukhuwahfoto/M. Firdaus
Menu makanan di warung Mang Ujuk

Saat saya jumpai, Mang Ujuk sedang sibuk melayani pembeli di warung terapung miliknya. Menggunakan baju motif garis, bercelana levis, sedang mengecak pinggang. Mang Ujuk dengan ramah menerima kedatangan kami.

Pria yang tinggal di Jalan KH. Azhari, Lorong Tanggo Rajo, Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I ini menceritakan awal mulanya ia berjualan menggunakan ketek. Menurutnya saat diwawancarai, ide tersebut muncul begitu saja karena melihat dari seberang (arah Ulu kota Palembang) di BKB sering ramai penggunjung.

“Sebenernyo iseng bae, karno kito tinggal di seberang Ulu. Nyingok dari sano kan pecak rami nian, laju tepeker nak bejualan di BKB sini (Sebenarnya iseng saja, kita kan tinggal di seberang Ulu dilihat dari sana ramai akhirnya berpikiran untuk berjualan),” katanya ramah.

Selama berjualan, Mang Ujuk dibantu oleh anggota keluarganya yang berjumlah enam orang, terdiri dari anak, mantu, dan istrinya. Masing-masing dari mereka ada yang memasak, membagikan makanan ketika sudah jadi, dan mencatat pesanan.

Makanan yang dijualnya sendiri beragam dan merupakan kuliner asli kota Palembang. “Ado pempek biaso, kapal selam, lenggang, model, samo tekwan (Ada pempek biasa, pempek kapal selam, lenggang, model, dan tekwan),” kata Mang Ujuk.

Lenggang, salah satu menu makanan di Warung Mang Ujuk. Senin, (25/10/21). Ukhuwahfoto/M. Firdaus
Mata Pencaharian

Srekk… suara sandal Mang Ujuk beralih ke arah saya duduk. Saat saya wawancarai, Mang Ujuk mengajak duduk di bagian ujung ketek miliknya.

Ditemani panorama jembatan Ampera, saya berhasil bercengkrama panjang dengan pemilik Warung Apung tersebut. Menurut pengakuan Mang Ujuk, ia sudah lima kali berganti ketek selama berjualan sekaligus pernah mendapat hibah ketek dari Bank Indonesia.

“Awalnyo dulu make ketek dolor kami, sampe lamo-lamo ado ketek dewek dan jugo pernah dapat hibah dari Bank Indonesia (Awalnya pakai ketek saudara, sampai akhirnya punya sendiri, dan pernah dapat hibah dari Bank Indonesia),” katanya.

Pertama kali jualan, Mang Ujuk biasa menepikan keteknya di daerah tangga satu atau tepatnya di bagian depan objek wisata BKB Palembang. Namun, semakin lama berjualan dan dengan dibangunnya monumen Ikan Belida, akhirnya ia memutuskan untuk pindah ke daerah tangga dua (di sebelah monumen Ikan Belida).

Ketika diwawancara, ia mengaku dukanya berjualan ialah ketika turun hujan. Karena sama sekali tak ada pengunjung yang datang. Setiap harinya Mang Ujuk akan mulai berjualan dari pukul 15.00 sampai 21.00 WIB.

“Tiap ari tuh rame, tapi kadang kalu lagi sepi yo sepi nian. Apolagi kalu ujan, katek nian yang datang (Setiap harinya ramai, tapi kalau sepi biasanya sepi banget. Apalagi kalau hujan, sering gak ada yang datang),” ujarnya.

Walau sempat tutup selama pandemi, Mang Ujuk biasa mendapat omset 10 juta rupiah setiap bulannya. “Pas pandemi kemaren sempat totop katek pemasukan, waktu itu saro nian pernah ngutang sano sini jugo (Waktu pandemi sempat susah dan gak ada pemasukan, pernah hutang sana-sini),” katanya.

Mang Ujuk dan keluarganya menjadikan warung terapung sebagai mata pencaharian satu-satunya saat ini. Lewat warung tersebutlah ia menaruh harapan keluarganya untuk menyambung hidup.

Sensasi makan di Warung Mang Ujuk, pengunjung bisa sembari menikmati panorama Ampera. Senin, (25/10/21). Ukhuwahfoto/M. Firdaus
Sensasi Makan di Warung Mang Ujuk

Masyarakat Palembang dan kota besar di Indonesia terbiasa dengan bepergian ke mall untuk menyantap makanan cepat saji diberbagai tempat kuliner ternama. Namun, Warung Apung Mang Ujuk menghadirkan sensasi makan yang berbeda.

Menurut Mang Ujuk, pengunjung yang datang terbiasa makan di warungnya karena bisa sekaligus menikmati megahnya jembatan Ampera di malam hari. Dari jendela ketek,pengunjung bisa melihat langsung indahnya aliran Sungai Musi.

Ditambah lagi, sistem pembayaran di warung apung miliknya bukan membayar ke kasir melainkan didatangi langsung oleh pelayan ketika selesai makan. Sistem pembayaran seperti ini tergantung pada kejujuran dari pembeli.

Selain Ampera, pengunjung dapat menikmati indahnya malam di kota Palembang dengan berkeliling tempat wisata BKB.

“Makan disini tu lemaknyo karno pacak nyingok jembatan Ampera. Kan kalu di Mal dak pacak ngerasokenyo (Makan disini enaknya bisa lihat langsung jembatan Ampera. Kalau di Mal ga bisa),” ujarnya.

Mang Ujuk memanfaatkan badan ketek sebagai tempat berjualan makanan khas Palembang karena ketek identik dengan Sungai Musi. Warungnya bisa menahan kapasitas 30 sampai 40 pengunjung.

Terdiri dari empat meja panjang kurang lebih tiga meter, dan dua meja bermuatan empat orang warung Mang Ujuk terlihat seperti tempat ngopi biasa. Bedanya, warung ini mengapung di atas aliran Sungai Musi.

Jika ditengah bagian ketek dijadikan tempat meja dan kursi untuk makan. Bagian ujung ketek dimanfaatkan sebagai dapur untuk memasak pesanan dari pelanggan.

Selain panoramanya yang indah, harga setiap makanan di Warung Mang Ujuk juga “bersahabat” bagi kantong siapa saja. Mulai dari pelajar dan karyawan kantor, tak heran jika setiap harinya warung apung ini dibanjiri oleh pengunjung.

Harga setiap makanan dibanderol Mang Ujuk di bawah 10.000 rupiah “Perharinyo itu aku pacak ngabesi 150 porsi model, satu dos mie, dan jugo ratusan pempek (Satu harinya saya bisa menghabiskan 150 porsi model, satu dus mie instan, dan ratusan pempek),” pungkasnya.

Baca juga: Geliat Pengerajin Rotan di Kota Palembang

One thought on “Warung Apung Mang Ujuk dan Panorama Jembatan Ampera

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *