Read Time:2 Minute, 20 Second

Palembang – Ukhuwahnews | Komunitas Ghompok Kolektif mengadakan Lokakarya Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang: Kedaulatan Pangan Berkelanjutan di Kedai Kawan Ngopi Palembang, Kamis (16/01/2025).

Lokakarya ini merupakan rangkaian kegiatan program Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang: Kedaulatan Pangan Berkelanjutan yang didukung oleh Kementerian Kebudayaan melalui Dana Indonesiana dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) tahun 2025. Agenda ini menghadirkan Dr. Eni Murdiati. M.Hum, Akademisi UIN Raden Fatah Palembang dan Taufik Wijaya, Budayawan Sumatera Selatan.

Taufik Wijaya, Budayawan Sumatera Selatan mengatakan, Tunggu Tubang merupakan salah satu bagian penting dalam sistem pemerintahan adat di tingkat keluarga pada masyarakat Suku Semende, yang sudah berjalan secara turun temurun. Dalam sistem pemerintahan tersebut, dikenal juga Payung Jurai atau Meraje yang merupakan turunan anak laki-laki tertua dalam Jurai (keluarga). Payung Jurai memiliki wewenang untuk menegur, menasehati, atau memperingatkan Tunggu Tubang jika melakukan kesalahan atau melanggar ketentuan adat.

Baca juga: Berburu Koin Jagat: Inovasi yang Memicu Masalah Sosial dan Keamanan

“Bahkan, Tunggu Tubang dapat diganti melalui keputusan atau rapat besar para Meraje. Dinamika peran Tunggu Tubang dan Payung Jurai inilah yang mungkin telah menciptakan keseimbangan sosial dan budaya masyararakat Suku Semende selama ratusan tahun,” katanya.

Lebih lanjut, Taufik menyebutkan sistem pemerintahan ini, merupakan bentuk kecerdasan para puyang masyarakat Suku Semende. Hal ini bermuara pada kedaulatan pangan berkelanjutan yang didukung oleh spirit mother earth pada sosok Tunggu Tubang yang menjaga lanskap pangan [hutan, mata air, sawah, hingga tebat], bisa menjadi sebuah model atau strategi ketahanan pangan berkelanjutan, dimana bumi akan mengalami puncak perubahan iklim di Tahun 2030.

“Dengan populasi manusia yang semakin meningkat hingga 8.025 miliar jiwa dan ditambah suhu bumi sudah mencapai 1,3 derajat, maka kita perlu menggali berbagai pengetahuan lokal untuk mitigasi perubahan iklim,” ucapnya.

Ia juga menambahkan, Tunggu Tubang merupakan lumbung pengetahuan dan aktor penting dalam proses tranformasi pengetahuan terkait pengelolaan lanskap pangan serta alam secara arif kepada generasi muda di Semende. Pengetahuan tersebut diajarkan sedari kecil oleh orangtua para Tunggu Tubang. Pemahaman menjaga lahan persawahan dan kebun juga dihubungkan dengan pemahaman dalam mempertahankan hutan dan sungai sebagai mitigasi perubahan iklim.

“Contoh kecilnya, mereka melakukan penanaman padi satu kali dalam setahun. Semuanya hampir tidak pernah gagal [panen] dan diserang hama. Karena pada periode penanaman, para burung melakukan migrasi. Sebab, selama ini saya belum pernah mendengar di Semende itu krisis pangan, dan ini merupakan bukti pentingnya peran Tunggu Tubang yang membawa spirit ibu bumi yang mampu menghidupi semua makhluk hidup,” jelas Taufik.

Di tempat yang sama, Akademisi Eni Murdiati mengatakan dengan adanya berkembangnya jaman, ada banyak perubahan yang dianggap masih relevan dilakukan oleh para Tunggu Tubang. Seperti aktualisasi diri, dimana realitanya, para Tunggu Tubang banyak ditemukan sudah tidak berada di desa untuk menuntut ilmu.

“Namun, kewajibannya sebagai Tunggu Tubang tetap dilakukan. Keberlanjutan disini menjadi kata kunci,” ucap Eni.

Rilis Ghompok Art Kolektif

About Post Author

Marshanda

Happy
Happy
100 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post Berburu Koin Jagat: Inovasi yang Memicu Masalah Sosial dan Keamanan
Next post UKMK UIN RF Adakan Audiensi, Meminta Kejelasan Surat Ederan Rektorat