Read Time:2 Minute, 16 Second
Suasana diskusi publik dari Komunitas Solidaritas Perempuan Palembang dengan tema “Petani dan Feminisme Populer” di Rumah Sintas, Sabtu (08/03/2025). Ukhuwahfoto/ Azzahri Fahlepi Putra

Palembang – Ukhuwahnews |Komunitas Solidaritas Perempuan Palembang turut menyuarakan lahan yang direnggut dalam perayaan Internasional Women’s Day (IWD) melalui diskusi publik bertemakan ‘Petani dan Feminisme Popular’ di Rumah Sintas Palembang pada Sabtu (08/03/2025).

Petani di Seri Bandung, Ogan Ilir (OI) Sumatera Selatan (Sumsel) kini tengah berjuang melawan dan menyuarakan mengenai lahan mereka yang telah direnggut sejak 40 tahun lalu oleh Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) 7 Palembang.

Seorang petani, Zubaidah menyuarakan mengenai perubahan yang terjadi pada kehidupan masyarakat di desa Seri Bandung, OI.

“Dulu hidup kami sukses karena banyak lahan, sekarang lahan kami habis dibuat lahan tebu, oleh karena itu kami melarat,” ungkapnya ketika diskusi publik.

Baca juga: Pemantauan Hilal Tak Terlihat di Palembang

Zubaidah mengatakan bahwa dulunya masyarakat di sana bisa mandiri, tapi sekarang mereka kehilangan pekerjaannya karena sudah tidak ada lagi yang dapat dikelola.

“Kami sekarang tidak ada pekerjaan, melarat jadi orang miskin. Dulu sayur mayur tanam sendiri, sekarang serba beli,” ungkapnya.

Kemudian, ia menjelaskan dampak lain dari lahan tebu tersebut juga mengganggu keseharian.

“Kalau sudah musim panen, timbul penyakit dari tebu yang terbakar, debunya terhirup, debu hitam masuk rumah bahkan sampai ke air dalam bak mandi juga,” jelasnya.

Lebih lanjut, Zubaidah menambahkan ungkapan keresahan terkait lingkungan di desanya yang sudah berubah itu.

“Bahkan mencari ikan di batang hari pun sudah susah karena racun dari tebu,” tambahnya.

Petani perempuan di sana tentu tidak hanya berdiam diri saja selama ini, mereka telah melakukan berbagai upaya untuk berjuang melewati masa kesulitannya.

“Kami buat gas dari kotoran sapi lalu tidak berhasil, lalu nanam bawang di samping rumah karena sudah tidak ada lahan lagi, terus kami juga buat pupuk kompos yang berakhir gagal juga. Sekarang yang berhasil dan bertahan adalah keripik ubi umak,” ujarnya.

Hingga saat ini petani di sana masih menunggu kejelasan dari PTPN 7 Palembang terkait lahan mereka yang telah lama diambil.

“Sudah didatangi ke PT, sudah dikasih surat tanah asli tapi ternyata uang bayarannya tidak muncul,” ucapnya.

Di akhir, ia mengungkapkan harapannya terkait permasalahan lahan ini.

“Pokoknya kami hanya minta kepada pemerintah untuk mengembalikan tanah kami, mungkin di masa depan anak cucuku bisa hidup enak,” tutupnya.

Menanggapi persoalan ini, perwakilan Majelis Nasional Serikat Petani Indonesia, Polong turut memberikan komentar.

“Kalau tanahnya diambil, sama saja kita merenggut hidupnya. Terkadang orang yang merencanakan pembangunan pertanian di pedesaan tidak memahami apa problem mendasar yang sebenarnya dibutuhkan oleh petani,” sambatnya saat diskusi publik.

Acara dimulai dengan longmarch dari Kambang Iwak (KI) ke Rumah Sintas, dilanjutkan diskusi publik dan ditutup dengan pertunjukan panggung seni rakyat.

Reporter: Nabilla Kartika Wiranti
Editor: Annisaa Syafriani

About Post Author

Annisaa Syafriani

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post Mahasiswa KKN UIN RF Kenalkan Jual Beli dalam Islam Lewat Permainan Edukatif
Next post IWD: Perangi Deskriminasi Terhadap Petani Perempuan