Bertamu ke Sentra Kain Jumputan Tuan Kentang

Seorang pekerja, Lukman (36) mengangkat kain jumputan yang sudah kering. Saat musim panas kain jumputan bisa kering dalam sehari, saat musim hujan bisa 3-4 hari baru kering. Ukhuwahfoto/M. Ilham Akbar

Penulis: Wisnu Akbar Prabowo (Pengurus LPM Ukhuwah UIN Raden Fatah)

Selain terkenal dengan kain songket, Palembang juga memiliki warisan kain jenis lain yang kini diminati oleh kalangan masyarakat luas, kain jumputan. Sesuai dengan namanya, kain jumputan diproduksi dengan teknik jumputan, yaitu dengan cara mengikat-ikat kain dan mencelupkannya pada larutan pewarna untuk menghasilkan motif yang diinginkan.

Menurut sejarah, teknik jumputan berasal dari Tiongkok dan berkembang hingga India dan wilayah-wilayah di Nusantara. Teknik yang juga dikenal sebagai teknik tie and dye ini diperkenalkan ke Nusantara oleh orang-orang Tiongkok dan India melalui perdagangan.

Kota Palembang saat itu menjadi wilayah Kerajaan Sriwijaya, menjadi salah satu pusat perdagangan yang ada di Nusantara. Oleh karena itu, pembuatan kain dengan teknik tie and dye pun berkembang dan dikenal luas oleh masyarakat setempat. Tak hanya di Palembang, teknik jumputan juga terdapat di beberapa daerah lainnya, seperti Kalimantan Selatan, Jawa, dan Bali.

Perbedaan yang mudah dikenali antara kain jumputan Palembang dengan daerah lain adalah melalui warna dasar yang digunakan. Kain jumputan Palembang umumnya bercorak warna-warni yang cerah layaknya pelangi. Oleh sebab itu, kain jumputan Palembang juga dikenal sebagai kain pelangi.

Surga Kain Jumputan Palembang

Pada siang itu, selepas Salat Jumat (08/10/21), aku dan beberapa rekanku mengunjungi salah satu pusat penghasil kain jumputan Palembang. Tempat tersebut berada di Tuan Kentang, Kelurahan 1 Ulu, Kertapati, Palembang, dapat ditempuh menggunakan sepeda motor. Berjarak sekitar 15 menit dari Jembatan Ampera.

Di sanalah surganya para penggemar kain jumputan ini, terlebih bagi orang-orang yang tertarik untuk melihat proses pembuatannya secara langsung. Seperti yang terpampang pada gapuranya, tempat itu dijuluki sebagai Kampung Kain.

Aku dan rombongan akhirnya melanglang ke salah satu kompleks penghasil kain jumputan, letaknya tak jauh dari Griya Kain Tuan Kentang. Ketika pertama kali menapakkan jejak di sana, kami disambut dengan beragam deretan kain jumputan, baik yang masih mentah maupun sedang dalam tahap pengeringan.

Pandanganku tertuju ke salah satu pabrik kain yang berada di atas atap rumah warga setempat. Setelah bertanya ke salah satu warga, akhirnya diketahui bahwa tempat itu berada di bawah kepemilikan Nadia Collection, salah satu butik lokal yang menjual berbagai macam kain jumputan.

Aku bertemu dengan pemilik butik tersebut, seorang wanita paruh baya bernama Hartina (50). Oleh beliau lah aku dituntun menuju tempat pembuatan kain jumputan miliknya.

Pengrajin dari Seberang

Hartina dan suaminya, Makruf (50) telah menekuni kerajinan kain jumputan sejak 30 tahun yang lalu. Sempat vakum pada 1997 dan 1998, keduanya melanjutkan usahanya hingga saat ini. Mereka adalah sosok pengrajin yang datang dari luar daerah, tepatnya dari Serang, Banten.

Berawal dari usaha rumahan biasa, pasangan suami istri dengan tekun meneruskan usahanya, hingga akhirnya mereka sukses mendirikan butik mereka sendiri. Saat ini, Nadia Collection memiliki tiga orang karyawan yang masih berkerabat dekat dengannya.

Setibanya aku di atas, langkahku disambut oleh salah satu karyawan Nadia Collection. Adi (32) pada saat itu sedang menyemprotkan larutan naftol pada permukaan kain jumputan sembari memanaskan cairan pewarna. Menurutnya, larutan naftol berguna agar warna kain tidak mudah pudar.

“Jadi sebelum diwarnai, (kain) harus dikasih naftol biar warnanya lengket (awet),” ujar pria berbaju loreng itu.

Namun, lanjut Adi, proses penyemprotan larutan naftol itu harus dilakukan dengan hati-hati, sebab cairan tersebut dapat mengakibatkan gatal dan perih jika terkena kulit. Lelaki berbaju loreng itu pun mengenakan sepatu boot bercorak hitam merah untuk melindungi kedua kakinya.

Seorang pekerja, Adi (32) menyemprotkan obat Napthol ke kain jumputan yang sudah diberi warna dasar. Pemberian obat itu bertujuan agar kain menyerap warna saat perebusan. Ukhuwahfoto/M. Ilham Akbar

Setelah itu, kain yang telah dilapisi naftol siap untuk diwarnai. Dalam prosesnya, pewarnaan bisa dilakukan dengan dua cara, yakni menggunakan air dingin dan air panas. Kain jumputan yang berbahan dasar sutra dapat diwarnai menggunakan air dingin, sedangkan untuk bahan lainnya harus menggunakan air panas agar warnanya meresap dan tidak mudah pudar.

Mengenai bahan kain jumputan, berdasarkan perkataan Makruf, bahan-bahan mentah yang sudah berbentuk kain didatangkan langsung dari Jakarta. Bahan tersebut diimpor dari luar negeri, salah satunya berasal dari India.

“Sebelum diwarnai, kain-kain putih itu dilukis terlebih dahulu pakai pensil. Nanti kalau sudah dilukis baru diikat. Biasanya anak-anak tuh yang mengikat, jadi kami (pengrajin) bisa langsung mewarnai,” ujar Makruf.

Dalam hal ini, Adi tidak bekerja sendiri. Ia ditemani oleh kedua rekannya, Lukman (36) dan Jupri (36) untuk saling berbagi tugas.

Melihat Adi sedang menyemprotkan naftol, Lukman dan Jupri yang baru saja tiba langsung melakukan proses pewarnaan dan pembilasan. Proses pewarnaan sendiri biasanya tak memakan waktu yang lama, hanya berkisar 15 menit untuk satu kali pewarnaannya.

Setelah diwarnai, kain jumputan perlu dibilas dengan air bersih agar warnanya tidak terlalu pekat. Usai dibilas, kain-kain itu langsung digantung oleh Lukman di bawah terik matahari. Kain yang masih basah biasanya memerlukan waktu sehari hingga beberapa hari agar kain benar-benar kering, tergantung pada cuaca di hari itu.

“Ya tergantung cuaca. Kalau panas kayak gini biasanya sehari (sudah) kering. Kalau musim hujan bisa sampai tiga atau empat hari,” jelas Lukman.

Kain yang sudah kering bisa langsung dijual atau diolah terlebih dahulu menjadi pakaian. Di Nadia Collection, selain menjual dalam bentuk kain, mereka juga menjual baju dan gamis. Tak hanya itu, mereka juga menerima pesanan jika ada konsumen yang ingin motif khusus.

Terkait harga kain, Nadia Collection mematok harga berdasarkan tingkat kesulitan motif dan waktu pengerjaan kain. Harga kain di sana berkisar antara Rp100 ribu hingga Rp700 ribu per dua meternya. Sedangkan untuk pengerjaannya bisa memakan waktu antara satu minggu hingga satu bulan.

“Kalau yang biasa (motifnya) ya harganya murah. Yang mahal itu motifnya susah, jadi buatnya juga lama,” ungkap Makruf.

Baginya, motif yang paling susah dibuat adalah motif titik tujuh dan titik sembilan. Jika dihitung dari awal pembuatan, kedua motif kain tersebut dapat memakan waktu hingga lebih dari satu bulan. Untuk itulah kedua motif tersebut dipasarkan dengan harga yang cukup tinggi.

Seorang pekerja, Adi (32) mengaduk kain jumputan yang direbus pewarna. Perebusan ini memakan waktu15 menit. Ukhuwahfoto/Wisnu akbar

Epilog

Selama mengikuti proses pembuatannya, aku cukup tertarik dengan mereka yang cekatan dalam mengerjakan kain jumputan. Hal itu terlihat dari keringat yang membasahi tubuh mereka. Terlebih, mereka bukanlah warga asli Palembang, melainkan pendatang dari negeri seberang lautan, termasuk pengrajin-pengrajin lainnya yang tinggal di kompleks tersebut.

Mengapa bukan orang-orang pribumi saja yang menghidupkan kerajinan kain jumputan kota mereka? Justru para pendatang lah yang menjalankan roda bisnis kerajinan tersebut. Padahal, kain tersebut memiliki nilai sejarah yang tinggi terkait perdagangan dan penyebaran kebudayaan asing yang dibawa oleh pedagang-pedagang pada era Kerajaan Sriwijaya.

Walaupun kalah pamor dengan kain songket, kain jumputan juga merupakan warisan daerah yang patut dilestarikan. Sudah seharusnya Wong Kito untuk ikut melestarikan budaya-budaya daerahnya. Karena jika kebudayaan tersebut hilang, maka akan sulit untuk membangkitkannya lagi dari kepunahan.

Editor: M. Firdaus

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *