Read Time:3 Minute, 23 Second
Salah satu pekerja di Kopi Sendok Mas yang sedang memindahkan biji kopi dari dalam karung di , Sabtu (15/02/2025). Ukhuwahfoto/Vitria Isabella

Penulis: Vitria Isabella

Feature – Ukhuwahnews | “Lebihkan sedikit timbangannya, jangan kurang, kalau kurang sama saja mengambil hak orang lain, Ki.” Begitulah ucap Syukri saat mengenang prinsip yang ditanamkan oleh Jafar, ayahnya.

Sabtu pagi, udara Kota Palembang membawa aroma kayu Pelawan yang terbakar, bercampur dengan wangi khas kopi yang baru digiling. Di sebuah sudut kawasan Kampung Al Munawar, sebuah bangunan sederhana, berdiri dengan aktivitas yang tak pernah sepi.

Di dalam ruangan, bunyi deru mesin penggiling berpadu dengan suara butiran kopi yang saling bertumbukan.

Di samping mesin penggiling, Abubakar Syukri, pria bertubuh semampai dengan tangan terbiasa bekerja keras, tak melepaskan pandangannya dari aliran bubuk kopi yang jatuh ke wadah di bawahnya.

“Setiap hari inilah yang saya kerjakan,” ujar Syukri sembari menyapu bubuk kopi yang tercecer pada Sabtu (15/02/2025).

Baca juga: Menelusuri Keindahan Malam di Sungai Musi

Bagi Syukri, kopi bukan sekadar pekerjaan, ini adalah warisan. Usaha yang ia jalani sekarang berakar dari perjalanan panjang yang dimulai oleh Jafar, ayahnya.

Tahun 1982, setelah menikahi Muzena, Jafar memulai perjalanan panjangnya di dunia kopi.

Sebelum mengenal kopi, Jafar pernah berjualan telur, sarden, apa saja yang bisa memberi penghidupan. Lalu, kopi bubuklah yang akhirnya menjadi pilihan. Dengan tangan sendiri, ia menakar, menggiling, dan membungkus kopi yang kemudian ia antar dari rumah ke rumah.

Nama ‘Sendok Mas’ muncul dari sebuah cerita yang sering diceritakan Jafar kepada anak-anaknya. Suatu ketika, saat Jafar baru memulai usahanya, ia kebingungan memilih nama yang tepat untuk kopi bubuknya.

Dalam ingatannya, ia hanya ingin sesuatu yang sederhana, tetapi tetap mudah diingat. “Sendok saja cukup,” begitu yang ia pikirkan.

Namun, seorang teman yang sering datang ke rumah produksi kecilnya menimpali, “Kalau cuma Sendok, biasa saja, tambahkan ‘Mas’, supaya lebih menarik dan bernilai,”

Jafar pun menyetujuinya, dan sejak saat itu, nama ‘Sendok Mas’ melekat pada produk kopinya hingga sekarang. Sejak awal, Kopi Sendok Mas hanya menggunakan biji kopi Semendo.

“Bukan hanya karena terbiasa, tapi memang rasanya berbeda,” kata Syukri.

Seiring waktu, usaha ini terus berkembang. Tahun 1991, permintaan mulai meningkat. Jafar yang sebelumnya hanya menggiling kopi dengan alat manual akhirnya membeli mesin giling yang lebih besar.

Ini membuat produksinya lebih cepat dan lebih banyak. Saat itu, Kopi Sendok Mas mulai dikenal lebih luas di Palembang.

“Dulu, penggilingannya masih pakai tenaga manusia, sekarang? Mesin bisa giling 100 kali lebih cepat.” Syukri bergurau, mengenang masa-masa perjuangan sang Ayah.

Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Pada 1994, Jafar berpulang, meninggalkan usaha ini di tangan Syukri yang kala itu masih berusia 14 tahun.

Menjalankan usaha di usia belia bukan perkara mudah. Syukri yang masih remaja harus belajar memahami proses pengolahan kopi, mengurus pelanggan, hingga memastikan produksi berjalan lancar.

Di masa-masa sulit itu, ibunya, Muzena, menjadi sosok yang selalu menguatkannya. Dengan kesabaran, ia menemani Syukri menghadapi tantangan demi tantangan.

“Sempat terpikir untuk berhenti, apalagi saat pelanggan mulai berkurang karena saya dianggap belum berpengalaman. Tapi saya ingat Abah, ingat bagaimana beliau memulai semuanya dari nol,” kenang Syukri.

Di tahun 2000-an, Syukri mulai melakukan perubahan besar. Ia tak hanya mempertahankan cita rasa khas kopi Semendo, tetapi juga mulai memanfaatkan kemajuan teknologi untuk pemasaran.

Dari mulut ke mulut, Kopi Sendok Mas mulai masuk ke warung-warung kopi, hingga akhirnya mendapatkan pelanggan tetap.

Puncaknya terjadi pada 2010. Dengan perkembangan internet dan media sosial, Syukri mulai memperluas jangkauan pasarnya. Ia menggandeng distributor dan membuka jaringan penjualan ke berbagai kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Bekasi, dan Surabaya.

“Dulu, kopi hanya bisa kita temui di warung kopi dekat rumah. Sekarang? Bahkan orang Jakarta sudah tahu tentang kopi kita,” katanya sambil tersenyum bangga.

Kini, di usianya yang menginjak 44 tahun, Syukri telah membawa Kopi Sendok Mas ke titik yang mungkin tak pernah ia bayangkan saat masih remaja. Produksinya meningkat pesat, dengan pelanggan yang semakin loyal.

“Kadang saya tidak percaya, dari sekadar warung kopi sederhana, bisa berkembang sejauh ini. Semua berkat kerja keras, dan tentunya, kopi Sendok Mas yang selalu setia menemani setiap langkah,” ujar Syukri.

Editor: Annisaa Syafriani

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
100 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post KKN UIN RF Lewat PKM Kenalkan AI ke Guru Guna Tingkatkan KBM
Next post DPRD Sumsel Setuju dan Terima Aspirasi Tolak Anggaran Pendidikan Dipotong