Read Time:2 Minute, 5 Second
Pixabay/TranDuyet

Penulis: Oktavia Rhamadhona

Di sebuah kamar kecil apartemen di kota besar, seorang pemuda bernama Rizal duduk di depan meja kecilnya dengan laptop terbuka. Cahaya remang-remang lampu jalan menyelinap masuk melalui jendela dan menyinari wajahnya yang lelah. Rizal adalah seorang anak rantau yang telah meninggalkan desa kecilnya untuk mengejar impian di kota.

Setiap malam, ketika kesibukan kota mulai mereda, Rizal akan merenung. Dia teringat akan desa halamannya yang jauh di pedalaman, di mana matahari terbenam dengan keindahan yang tak terlukiskan dan orang-orangnya hidup dengan kebahagiaan sederhana. Namun, keinginan untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya mendorongnya untuk tetap bertahan di kota.

Rizal merasa kesepian di tengah keramaian kota. Dia merindukan suara gemericik sungai di desa, sorak-sorai anak-anak bermain di lapangan dan kehangatan keluarganya. Tetapi setiap kali kerinduan itu datang, dia mengingat janjinya pada dirinya sendiri dan keluarganya untuk mengejar cita-cita, untuk memberikan yang terbaik bagi mereka, untuk membuat mereka bangga.

Setelah beberapa tahun berjuang di kota, Rizal akhirnya lulus dari perguruan tinggi dengan gelar sarjana. Saat itu adalah momen yang penuh kebanggaan baginya, tetapi juga momen paling menyedihkan. Dia merindukan keluarganya yang tidak bisa hadir dalam momen penting itu. Namun, Rizal tahu bahwa dia harus terus maju.

Suatu hari, setelah pulang dari pekerjaannya, Rizal mendapat panggilan dari ibunya. Suara lembutnya terdengar di telepon, “Rizal, kami rindu padamu. Kapan kau akan pulang nak?”

Mendengar suara ibunya membuat hati Rizal bergetar. Dia menyadari bahwa meskipun telah mengejar impian di kota, dia tidak boleh melupakan akarnya. Dia menangis, merindukan pelukan ibunya, bau tanah basah desa, dan senyum bahagia ayahnya.

Dengan hati yang berat, Rizal mengambil keputusan penting. Dia akan pulang. Pulang ke tanah kelahirannya, tempat di mana dia tumbuh dewasa, di mana cinta dan kenangan menyelimuti setiap sudut.

Saat Rizal tiba di desa, dia disambut dengan sukacita oleh keluarga dan tetangga-tetangganya. Air mata bahagia mengalir di pipinya saat dia memeluk ibu dan ayahnya. Dia melihat wajah bahagia mereka dan merasa lega. Meskipun telah menjalani perjalanan panjang dan penuh tantangan, Rizal akhirnya pulang.

Di desa, Rizal membangun sebuah sekolah untuk anak-anak desa. Dia ingin memberikan kesempatan yang sama seperti yang dia dapatkan kepada mereka. Setiap hari, dia melihat senyum bahagia di wajah anak-anak itu, dan itu membuatnya bahagia.

Rizal menyadari bahwa pulang bukan berarti kegagalan. Pulang adalah tentang menemukan tempat di mana hati dan jiwa merasa tenang. Dan bagi Rizal, tempat itu adalah di samping keluarganya, di desa halamannya yang indah.

About Post Author

Hanifah Asy Syafiah

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post Puisi : Bayangan Diam
Next post Sumatera Media Summit 2024 Sukses Digelar di Palembang